ASSALAM MUALAIKUM

Senin, 17 September 2012

Ringkasan Biografi As-Sayyid Muhammad Hisyam Kabbani

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani


Syekh Muhammad Hisyam Kabbani adalah seorang ulama dan syekh Sufi dari Timur Tengah. Ia adalah lulusan American University di Beirut di bidang Kimia dan dari sana ia mengambil gelar Kedokteran di Louvain, Belgia. Ia juga meraih gelar di bidang Syariah dari Damaskus. Sejak masa kanak-kanak, ia menemani Syekh ‘Abdullah ad-Daghestani dan Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani, grandsyekh dari Tarekat Naqsybandi ‘Aliyyah di masa ini. Ia telah banyak melakukan perjalanan ke seluruh Timur Tengah, Eropa, dan Timur Jauh dalam menemani syekhnya.

Pada tahun 1991 ia pindah ke Amerika dan kemudian mendirikan yayasan Tarekat Sufi Naqsybandi-Haqqani di Amerika.

Sejak saat itu, ia telah membuka tiga belas Pusat Sufi di Kanada dan Amerika Serikat. Ia telah memberi kuliah di banyak universitas, termasuk Oxford, University of California di Berkeley, University of Chicago, Columbia University, Howard, McGill, Concordia, Dawson College, begitu pula di banyak pusat religius dan spiritual di seluruh Amerika Utara, Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah.

Ke mana pun Syekh Hisyam Kabbani pergi, kegiatannya adalah menyebarkan ajaran Sufi dalam lingkup persaudaraan antar umat manusia dan kesatuan dalam kepercayaan terhadap Tuhan yang terdapat dalam semua agama dan jalur spiritual. Usahanya diarahkan untuk membawa spektrum keagamaan dan jalur-jalur spiritual yang beragam ke dalam keharmonisan dan kerukunan, dalam rangka pengenalan akan kewajiban manusia sebagai khalifah di planet yang rentan ini dan satu sama lainnya.

Sebagai seorang syekh Sufi, Syekh Hisyam, telah diberi otoritas dan izin untuk membimbing para pengikutnya menuju Kecintaan terhadap Tuhan dan menuju maqam-maqam yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Pelatihan spiritualnya yang berat selama 40 tahun di bawah bimbingan grandsyekh dan syekhnya telah memberinya kualitas luhur mencakup kebijaksanaan, cahaya, kecerdasan, dan kasih sayang yang diperlukan bagi seorang Guru sejati dalam Tarekat.

Pencapaian misi Syekh Hisyam di Amerika adalah kontribusinya yang unik bagi Upaya Manusia dalam mencapai takdir tertingginya, yaitu kedekatan dengan Tuhan. Perjuangannya untuk menyatukan hati umat manusia dalam perjalanan mereka menuju Hadirat Ilahi barangkali merupakan warisan terbesarnya bagi dunia Barat.

Syekh Hisham q.s. adalah keturunan Rasulullah saw. baik dari jalur
Ayah dan Ibunya (al-Hasani al-Husayni). Dari istrinya, Hj. Nazihe Adil
yang merupakan putri Syekh Nazim al-Haqqani q.s., beliau dikaruniai 3
putra dan 1 putri, serta beberapa cucu yang semuanya menetap di
Fenton, Michigan.

Beberapa posisi yang beliau duduki di Amerika saat ini antara lain:
Ketua Islamic Supreme Council of America (ISCA), penasihat dalam Unity
One, yaitu sebuah organisasi yang ditujukan untuk perdamaian
antar-gang di Amerika, penasihat dalam Human Rights Council, penasihat
dalam American Islamic Association of Mental Health Providers dan
penasihat dalam Office of Religious Persecution, US Department of
State.

Beberapa tulisannya yang telah dipublikasikan secara internasional
antara lain: Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Tradition,
Naqshbandi Sufi Way: the Story of Golden Chain, Angels Unveiled-Sufi
Perspective (edisi Indonesia: Dialog dengan para Malaikat, diterbitkan
Hikmah), Pearls and Coral, Encyclopedia of Islamic Doctrine (7
volume), The Permissibility of Mawlid, “Salafi” Movement Unveiled, dan
The Approach of Armageddon? (edisi Indonesia: Kiamat Mendekat,
diterbitkan Serambi).

Sejak tahun 1997, beliau telah beberapa kali berkunjung ke Indonesia
dan sekarang telah memiliki ribuan murid yang tersebar di pelosok
Jakarta, Sukabumi, Bandung, Pekalongan, Semarang, Tuban, Surabaya,
Batam, Aceh, Padang, Bukittinggi, Bali dan lain-lain, yang semuanya
terwadah dalam suatu keluarga besar Jemaah Tarekat Naqsybandi
al-Haqqaniyah yang dalam keorganisasiannya dikelola Yayasan Haqqani
Indonesia.

Mengenai Yayasan Haqqani Indonesia


Secara kejama`ahan, masyarakat Naqsybandi Haqqani Indonesia secara resmi mulai tergelar kebersamaannya sejak ditunjuknya Bapak KH. Mustafa Mas’ud sebagai perwakilan pertama dari As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k untuk Indonesia pada tanggal 5 April 1997. Penunjukan dan Bay’at sebagai representatif dilaksanakan melalui As-Sayyid Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k pada kunjungan perdana beliau di Jakarta pada saat itu. Kedatangan tersebut bermula dari pertemuan beliau dengan beberapa orang Indonesia yang tinggal di California, di mana mereka secara konstan mengikuti ritual Sohbet Naqsybbandi Haqqani di USA, Shalat Jumat, Dzikir Khatam Kwajagan, dan lain sebagainya, di Masjid Mountain View, CA sebagai salah satu Masjid Utama Jama’ah Naqsybandi al-Haqqani Amerika. Pada akhirnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k selaku Khalifah Syaikh Nazhim k di USA bertemu dengan para Muslim Indonesia, termasuk seorang mahasiswa bernama M. Hadid Subki yang sedang berada di San Jose, CA. Selanjutnya beliau mengutarakan maksudnya untuk membuka hubungan ke Indonesia atas nama Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k. Persiapan yang dilaksanakan di Jakarta membawa saudara Farid Bubbi Djamirin bertemu dengan K.H. Mustafa Mas’ud. Pada dua kunjungan berikutnya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani k mentasbihkan empat Ulama lainnya sebagai wakil dari Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani an-Naqsybandi k yang tersebar di Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah.
Mereka adalah :

Kyai Haji Taufiqqurahman al-Subky (Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah)

Al-Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan, Jawa Tengah)

Kyai Haji Qari Ahmad Syahid (Nagrek, Jawa Barat)

Al-Ustadz Haji Wahfiudin, MBA (Jakarta)

Sebagai negara yang mempunyai penduduk mayoritas Muslim, tentunya istilah ’thariqat’ sudah tidak asing lagi di Indonesia, terutama bagi pengikutnya dan para cendikiawan yang mempunyai pengetahuan dan perhatian khusus mengenai hal ini.Meskipun kegiatan sudah berjalan sejak tahun 1997, secara hukum Yayasan Haqqani Indonesia baru diresmikan pada akhir tahun 2000. Para pengurus Haqqani Fondation sebagian adalah jema’ah Thariqat Naqsybandi Haqqani, tanpa tertutup untuk ummat Muslim yang tidak mengikuti thariqat untuk turut berpartisipasi. Yayasan Haqqani Indonesia merupakan cabang Haqqani Foundation yang tersebar di beberapa negara, sehingga pada prinsipnya mempunyai pola dasar keorganisasian yang tidak berbeda dengan Yayasan Haqqani lainnya. Sampai saat ini sudah tersebar beberapa cabang Haqqani Foundation di beberapa negara, misalanya: Italia, Belanda, Jerman, Amerika, Malaysia, Perancis, dan Indonesia. Dalam bentuk kelembagaannya, Yayasan Haqqani diharapkan mampu memiliki peran yang strategis dan berkesinambungan dalam melaksanakan syi’ar Islam kepada sesama ummat penghuni bumi.

Sabtu, 15 September 2012

Ringkasan Biografi Al-Habib Anis Bin Alwi Al-Habsyi

foto528.jpg
Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.
Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.
Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.
Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”…….
habib-anis-bin-alwi-al-habsyi.jpg
foto530.jpg
foto531.jpg
foto546.jpg
foto548.jpg
foto547.jpg
foto549.jpg

Biografi Ringkas Habib Muhammad Syahab (Pembina Majlis Ta’lim Al Anwar)

Beliau seorang da’i Ilalloh Alhabib Muhammad bin Taufiq bin Muhammad bin Syekh bin Muhammad bin Syekh bin Abdulloh bin Husein bin Abdulloh bin Husein bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Syihabuddin Al Asgor bin Abdurrohman Al Godhi bin Ahmad Syihabuddin Al Akbar bin Abdurrohman bin Ali bin Abi Bakar As Sakron bin Abdurrohman As Seqoff bin Muhammad Maula Ad Dawilah bin Ali bin Alwi Al Guyur bin Alfaqihil Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohibi Marbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al Imam Al Muhajir ilallah Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad AnNaqib bin Ali Al’Uroidi bin Ja’far As Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husein As Sibt bin Ali bin Abi Tholib wabni Fatimah Az Zahro’ binti Sayyidina Muhammadin Khotamin Nabiyyin Washollallohu Wasallama Wabaraka ‘Alaihi Wa’alaihim Ajma’in…
Dilahirkan di kota Palembang dari keluarga yang sederhana 11 Januari 1978 hari jumat. Alhamdulillah dengan izin Allah SWT beliau menuntut ilmu di pondok pesantren Atsaqofah Al-Islamiyyah pimpinan Al’Alim Al’allamah Ad Da’iyyah ilalloh Al Habib Abdurohman bin Ahmad bin Abdulqodir Asseqaf, Bukit duri Jakarta Selatan. Dalam menuntut ilmu Alhabib Muhammad mendapat bimbingan langsung dari sang guru mulia sehingga mendapatkan bekal ilmu agama. Setelah 10 tahun menuntut ilmu di Atsaqofah Islamiyyah oleh Sang Guru Mulia di izinkan untuk melanjutkan menuntut ilmu ke Yaman Hadramaut tepatnya di kota Tarim di Pondok Pesantren Daarul Musthofa pimpinan Al’alim Al’allamah Ad Da’iyyah ilalloh Al Habib Umar bin Muhammad bin salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim. Selama di Hadramaut Tarim, Alhabib Muhammad juga mengambil ilmu dari para guru yang ada di kota Tarim, antara lain : ‘Aynut Tarim Alhabib Abdulloh bin Muhammad bin Alwi bin Syahab, Alhabib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim dan beberapa habaib serta masayikh lainnya
Selain itu beliau juga banyak mendapatkan Ijazah dan Talbiis dari guru- gurunya, antara lain : Al’Alim Al’Allamah Ad Da’iyyah Ilalloh Alhabib Abdurrohman bin Ahmad Assegaf dan Al’Alim Al’Allamah Ad Da’iyyah Ilalloh Alhabib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim dan Al’Alim Al’Allamah Ad Da’iyyah Ilalloh Alhabib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim dan ‘Aynut Tarim Alhabib Abdulloh bin Muhammad bin Alwi bin Abdulloh bin Idrus bin Syahab dan para habaib serta masayikh lainnya. Setelah menyelesaikan pendidikan selama 4 tahun menuntut ilmu dengan para guru di Tarim Alhabib Muhammad kembali ke Indonesia untuk berdakwah dengan niat sholihah menyebarkan Ilmu yang di dapat selama menuntut ilmu dengan harapan mendapat keridhoan Allah SWT dan Keridhoan Nabi besar Muhammad SAW.

Kamis, 13 September 2012

Ringkasan Biografi KH.Muhammad Arifin Ilham

KH Muhammad Arifin Ilham atau di kenal sebagai uztadz Arifin Ilham lahir di Banjarmasin, 8 Juni 1969, Arifin Ilham adalah anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Barabay, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Setahun setelah menikah, pasangan ini melahirkan putri pertama mereka tahun 1967. Karena anak pertama mereka perempuan, betapa bahagianya mereka ketika anak keduanya adalah laki-laki.

Nurhayati mengatakan bahwa saat hamil anak keduanya itu, ia merasa biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda khusus. Hanya, berbeda dengan keempat putrinya, saat dalam kandungan, bayi yang satu ini sangat aktif. Tendangan kakinya pun sangat kuat, sehingga sang ibu acapkali meringis menahan rasa sakit.

Bayi yang lahir tanggal 8 Juni 1969 itu kemudian diberi nama Muhammad Arifin Ilham. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang saat lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yaitu di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati.

Bayi itu selanjutnya tumbuh sehat. Usia setahun sudah bisa berjalan dan tak lama setelah itu ia mulai bisa berbicara. Setelah Siti Hajar, satu demi satu adik Arifin pun lahir. Yaitu, Qomariah yang lahir tanggal 17 Mei 1972 dan si bungsu Fitriani yang lahir tanggal 24 Oktober 1973.

Saat berusia lima tahun, Arifin dimasukkan oleh ibunya ke TK Aisyiah dan setelah itu langsung ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di Banjarmasin. Arifin mengaku, saat masih di SD itu ia tergolong pemalas dan bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu babal. Arifin baru bisa baca-tulis huruf Latin setelah kelas 3,” kenang Arifin yang setiap kali berbicara tentang dirinya selalu menyebut namanya sendiri.

Di SD Muhammadiyah ini Arifin hanya sampai kelas 3, karena berkelahi melawan teman sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berkelahi karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur dan bibirnya sobek. Agar tidak berkelahi lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali.

Rumah tempat tinggal orang tua Arifin terletak di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, tepat di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Sebagai pegawai Bank BNI 46, ayahnya sering kali bertugas ke luar kota Banjarmasin, kadang-kadang sampai dua-tiga bulan. Ayah Arifin mengakui bahwa ia tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, sehingga akhirnya yang banyak berperan mendidik Arifin adalah istri dan ibu mertuanya. Arifin mengungkapkan bahwa cara mendidik kedua orang tua itu keras sekali. “Baik Mama maupun Nenek kalau menghukum sukanya mencubit atau memukul. Dua-duanya turunan, kalau nyubit maupun memukul keras dan sakit sekali,” canda ustad muda itu.

pria kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 8 Juni 1969, ini termasuk seorang penyayang binatang. Di rumah ibu angkatnya di Jakarta, ia banyak memelihara binatamg, antara lain burung hantu, kera, dan ayam kate.

Awal April 1997, ia diberi seekor ular hasil tangkapan warga kampung yang ditemukan di semak belukar. Karena kurang hati-hati Arifin digigit binatang melata ini. Namun, ia tidak menyadari kalau dirinya keracunan. Sewaktu dalam perjalanan dengan mengendari mobil, ia pun merasakan sesuatu yang tidak biasa, tubuhnya terasa panas, meradang, dan membiru.

Melihat keadaan Arifin yang demikian, ibu angkatnya Ny Cut mengambil alih kemudi, menuju rumah sakit terdekat. Namun, beberapa rumah sakit menolak dengan alasan peralatan medis yang tidak memadai. Bahkan sejumlah dokter di beberapa rumah sakit tersebut memvonis, umur Arifin tinggal satu persen. Karena sulitnya mendapatkan pertolongan selama 11 jam, keadaan Arifin makin gawat.

Detak jantungnya melemah. Melihat kondisi anak angkatnya yang makin parah, Ny Cut mencoba mendatangi RS Saint Carolus (Jakarta Pusat). Alhmadulilah pihak rumah sakit menerimanya. Arifin langsung ditempatkan di ruang ICU. Infus pun dipasang di tubuhnya. Untuk membantu tugas paru-paru, jantung, dan hatinya yang telah sangat lemah, dokter memasukkan beberapa batang selang ke mulutnya.

Dengan pertolongan Allah, setelah satu bulan lima hari pihak rumah sakit menyatakan ia telah melewati masa kritis dan memasuki masa penyembuhan. Walaupun kondisinya telah jauh lebih baik, Arifin mengalami perubahan pada suaranya. Menurut analisa dokter, hal ini disebabkan oleh pemasangan beberapa selang sekaligus dalam mulutnya untuk waktu yang cukup lama.

Tapi tidak ada yang mengetahui rencana Allah, justru dengan suaranya itu, Arifin menjadi lebih mudah dikenal para jamaah hanya dengan mendengar suaranya. Seperti diceritakan Arifin, selama masa kritis, ia mendapatkan pengalaman spiritual yang sangat luar biasa. Di alam bawah sadarnya ia merasa berada di sebuah kampung yang sangat sunyi dan sepi.

Ringkasan Biografi Al-Habib Muhammad Al-Bagir

Pada dirinya bermuara banyak keberkahan. Dari berkah Habib Utsman Bin Yahya, Habib Alwi Al-Haddad Keramat Empang, Habib Umar Bin Hud Cipayung, hingga Habib Umar Bin Hafidz dan Habib Rizieq Syihab.


Bila malam Sabtu rutin melewati arah Petamburan, Jakarta Pusat, atau Gilisampeng Kebon Jeruk, Jakarta Barat, jangan kaget bila Anda sering mendapati umbul-umbul putih bertuliskan Majelis Warotsatul Musthofa dengan warna hijau cukup besar.

Majelis yang belum lama berdiri ini tampaknya sudah mendapat hati dari kaum muslimin. Ya, mereka ingin mengenal lebih banyak perihal majelis ini dengan menghadirinya dan mengenal siapakah sosok ulama dakwah yang menjadi sosok sentral di dalamnya.

Melalui penelusuran yang cukup lama, alKisah berkesempatan mewawancarai tokoh itu, di sela-sela padatnya aktivitas dakwahnya. Ternyata, ia seorang anak muda yang tampak kealiman dan akhlaqnya yang mulia pada dirinya. Benarlah kata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan-nya, “Al-‘Alimu kabirun wa in kana shaghiran wal jahilu shaghirun wa in kana syaikhan.” Yang artinya, seorang alim itu terlihat besar kewibawaannya meskipun muda belia usianya, sebaliknya orang bodoh itu terlihat kerdil sekalipun tua usianya.

Subhanallah, alKisah, yang selama ini sedikit banyak menyelami kitab-kitab Habib Utsman dan dulu sering mulazamah ke kediaman keluarganya, jadi “nyambung” saat bermuwajahah dengan tokoh muda ini.

Muara Keberkahan
Dai muda kelahiran Bogor, 19 Agustus 1988, ini adalah Habib Muhammad Al-Bagir bin Alwi Bin Yahya. Mengawali pembicaraan, ia menuturkan asal-usulnya:

“Abah ana adalah Habib Alwi bin Husein bin Muhammad bin Alwi bin Utsman bin Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya asal Petamburan. Ana keturunan kelima dari Habib Utsman Bin Yahya Mufti Betawi. Sedangkan ibu ana Syarifah Rahmah, putri Al-Habib Ahmad bin Muhammad Alaydrus, yang dijuluki ‘Habib Ahmad Fakhr’ (fakhr berarti “kebanggaan” – Red.) asal Bogor.

Alhamdulillah, ana banyak mendapat keberkahan dan keberuntungan dari kedua kakek ana, yakni Habib Utsman dan Habib Ahmad Fakhr. Pertama, mendapat keberuntungan lahir di tempat tidur Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad Keramat Empang. Kamar khusus ini memang disediakan enjid (kakek) ana untuk Habib Alwi Al-Haddad, yang memang selalu ditempati beliau saat berkunjung ke rumah kakek ana, Habib Ahmad Fakhr. Jadi ada atsarnya di situ.

Satu keberuntungan lagi yang ana peroleh adalah ketika Ummi tengah mengandung ana. Beliau pergi ke kediaman Habib Umar Bin Hud Alatas, bertabarruk atas kehamilannya kepada Habib Umar.  Makanya, ummi ana mendapati ana punya wajah agak berbeda dari yang lain, lebih mancung, seperti hidung Habib Umar Bin Hud Alatas. Yang kedua, dari Habib Utsman.

Alhamdulillah segala sesuatunya menjadi amanah yang mulia yang patut ana emban sampai kapan pun.”

Ke Darul Mushthafa
Akhir 1999, saat usia 11 tahun, Habib Muhammad Al-Bagir, atau biasa disapa “Habib Bagir”, selulus dari SD, berangkat mondok ke Darun Nasyiin, Lawang, Jawa Timur, yang saat itu diasuh Habib Ali bin Muhammad Ba’bud.

Tak lama ia mondok, abahnya sakit. Dan, atas permintaan abahnya, akhirnya Habib Bagir kecil menyudahi nyantrinya di Lawang. Abahnya memintanya untuk sekolah di tempat yang terjangkau jaraknya oleh keluarga. “Ana ikuti keinginan orangtua, tapi ana hanya mau di pesantren, bukan sekolah umum,” katanya. 

Habib Bagir pun melanjutkan belajarnya ke Ma’had Darus Sa’adah Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hud Alatas, Cipayung, Bogor. Di antara guru-gurunya pada saat itu adalah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa, Habib Quraisy Baharun, Habib Hamid Barakwan, Habib Muhammad Al-Baiti, yang kesemuanya adalah murid-murid senior Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz.

Selepas menempuh pendidikan selama dua tahun, pada tahun 2002, Habib Bagir berangkat ke Hadhramaut, untuk meneruskan pendidikan ke Darul Mushthafa. Alhamdulillah, semua berjalan dengan mudah atas izin Allah. Niat untuk belajar yang kuat menjadikan semuanya itu dimudahkan oleh Allah Ta’ala.

Tahun 2007, setelah bermukim selama lima tahun, Habib Bagir kembali ke tanah air. Sebetulnya ia masih berkeinginan belajar di sana, namun orangtua memintanya membantu aktivitas dakwah di Jakarta.
Kenangan saat di Darul Mushthafa begitu indah. Khidmah selama di sana terbukti keberkahannya. Benarlah kata sebuah syair:

Man khadama
qadama

Siapa yang mengabdi
akan maju


“Pada bulan Ramadhan, saya hanya membantu mencuci karpet, menyapu lantai dan halaman, membantu di dapur untuk menyediakan ta’jil, dan semua pekerjaan rumah tangga yang terkadang terlihat sepele. Namun, subhanallah, apa yang saya lakukan itu menurunkan keberkahan buat saya. Di Darul Mushthafa itu semuanya ilmu dan mengandung berkah yang besar. Guru Mulia sering mengunjungi dapur saat kami bekerja, dan beliau menebarkan senyum kepada kami. Sungguh, beliau seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih dan mengemong kami dengan ilmu dan akhlaq beliau,” kenangnya.

Kenangan lainnya yakni pergaulan dengan orang-orang Tarim. Sebelum masuk ke Darul Mushthafa, biasanya santri pemula mondok di Rubath Syihr, cabang Darul Mushthafa dan awal mula tempat berdirinya Darul Mushthafa sepulangnya Habib Umar belajar dari Baydha`. “Nah, orang-orang Arab di Syihr ini yang mengajari kami belajar bahasa Arab yang murni dan fasih, juga bahasa

Arab yang lazim dipakai di Tarim dan Yaman secara keseluruhan. Bahkan kami juga berkesempatan belajar bahasa Inggris dan Afrika, dari para kawan kami, murid-murid pemula Tuan Guru, yang berasal dari Amerika, Inggris, Australia, dan Afrika. Jadi menambah wawasan pergaulan kami.”

Alhamdulilah, di tanah air, ia masih diberi kesempatan untuk belajar lagi kepada beberapa ulama habaib, di antaranya Habib Umar bin Abdullah Alatas Berdikari Rawabelong dan Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab Petamburan. Di samping itu ia juga ikut serta aktif di majelis mudzakarah bersama Habib Jindan, Habib Ahmad, dan sejumlah ustadz lainnya, alumni Darul Mushthafa.

Warotsatul Musthofa
Sepulang dari Tarim, Habib Muhammad Al-Bagir punya tekad untuk memakmurkan kembali Masjid Jami' Al-Islam Petamburan, Jakarta Pusat, sebuah masjid peninggalan Habib Utsman Bin Yahya, buyutnya. Di masjid itulah untuk pertama kalinya ia menyampaikan khuthbah Jum’at dan mengajar ta’lim setiap Ahad malam.

Tiga tahun kemudian, berkah dari ilmu yang diperoleh, Habib Bagir mengajar di beberapa majelis, masjid, dan mushalla di beberapa wilayah, bahkan sampai ke Bogor.

Setelah berjalan sekian tahun, timbul keinginan dari dirinya untuk membangun sebuah majelis yang terorganisir yang menaungi sekian majelis yang diasuhnya. Tujuannya, agar bermanfaat lebih banyak bagi umat lewat satu payung majelis sehingga timbul kebersamaan.

Alhamdulillah, kemudian berdirilah majelis yang dinamakan “Warotsatul Musthofa”.

Kegiatan Warotsatul Musthofa berjalan dari majelis ke majelis, rumah ke rumah. Perlahan namun pasti, semuanya berkembang pada satu tujuan untuk mengajak jama’ah mempelajari Islam lebih baik lagi, mengenal dan mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Betapa indahnya kalau melihat negeri ini makmur oleh majelis, diwarnai oleh muslimin dan muslimah yang hidup harmonis, yang mencintai Rasulullah SAW, menjalani syari’at beliau dalam segala bentuk aktivitas mereka.

Alhamdulillah, murid dan jama’ah antusias mengikutinya. Mereka berbondong-bondong berperan serta. Ada yang membawa sound system,  tenda. Ada yang mengurusi sablon, ada yang menyumbangkan keahlian berorganisasi. Semua terwadahi.

Dengan merendah Habib Muhammad Al-Bagir mengatakan bahwa dirinya hanya menjadi pendorong dan penasihat, sedangkan semua yang menjalaninya jama’ah dan murid-muridnya.

“Mereka ini punya semangat yang tinggi untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, yang mencintai majelis ini bukan hanya para orang tua, pemuda, dan remaja, tapi juga anak-anak kecil. Mereka ini suka datang ke rumah saya, mau minta bendera-bendera kecil. Yah, namanya anak-anak.... Semangat dan cinta mereka tumbuh karena fithrah yang Allah berikan, subhanallah.

Di samping itu, bilamana pengajian kita adakan, ada pembacaan tilawatul Qur’an, dan yang membaca itu anak kecil, sehingga ini menjadi daya tarik yang luar biasa buat siapa saja, bahwa penanaman aqidah dan syari’ah, penanaman mahabah kepada Rasulullah SAW, dilakukan sejak usia dini.”

Namun ia tekankan juga kepada jama’ah, “Ini bukan majelis sekadar rame-rame. Ini majelis yang harus tetap berada pada koridor Islam yang benar. Jama’ah laki-laki dan perempuan tidak diperkenankan campur baur, dan pembacaan Al-Qur’an dan Maulid harus disimak baik-baik, agar turun keberkahan dari Allah Ta’ala buat semua.”

Ia berharap, semoga jama’ahnya meneladani akhlaq Rasulullah SAW.

Tentang nama Warotsatul Musthofa, nama itu diperoleh lewat kontak bathin dengan gurunya, Tuan Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz. “Bisyarah ini saya peroleh dari Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz saat beliau berkunjung ke Majelis Darul Mushthafa Petamburan beberapa tahun yang lalu,” kata habib muda keturunan kelima Habib Utsman ini.

Wilayah dakwah dengan bendera Warotsatul Musthofa yang telah berjalan selama empat tahun ini kini mencakup sebahagian besar wilayah Jakarta, terutama Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, sebahagian Jakarta Timur dan Selatan, hingga sampai ke Tangerang, Parung, serta Gunung Sindur di Bogor.

Kesan dan Pesan para Guru
Guru yang sangat dikagumi Habib Muhammad Al-Bagir di antaranya Habib Muhammad Rizieq Syihab. “Beliau guru pertama ana saat masih dalam usia belia dan beliau baru pulang belajar dari Arab Saudi,” ujarnya. Kemudian Habib Ali bin Muhammad Ba’bud (Lawang), Habib Munzir Al-Musawa dan Habib Quraisy Baharun (Darus Sa’adah Cipayung), Syaikh Obeid Balas’ad (Darul Mushthafa), almarhum Habib Umar bin Abdullah Alatas (......................), dan masih banyak lagi. Mereka ini benar-benar mengisi relung hatinya. Maka wajarlah, keberkahan selalu mengiringi habib muda ini.

Sedang guru yang sangat memotivasinya untuk terjun ke dunia dakwah yakni Tuan Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz, yang cara mendidik dan mengajarnya sungguh luar biasa. Ia seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih dan mengemong murid-murid dengan ilmu dan akhlaqnya. “Bila saya mendapati suatu hal yang bikin saya jenuh atau terbersit sesuatu hal yang tidak mengenakkan bathin,  usai shalat berjama’ah lalu berkesempatan memandang wajah Guru Mulia, hilanglah semua permasalahan itu, tanpa berkeluh kesah atau curhat kepada beliau. Bahkan berganti dengan ketenangan bathin. Maka, bagaimana bila mendapati senyuman beliau. Subhanallah...,” kata Habib Bagir dengan mata berbinar
Begitu juga dengan gurunya sejak ia masih kecil dan masih bermulazamah dengannya hingga kini, yakni Habib Muhammad Rizieq Syihab. Habib Rizieq selalu menekankan pesan dan kesan yang dalam, baik saat ia hendak berangkat ke Tarim maupun hingga sekembalinya ke tanah air, dan mengaji lagi kepadanya, “Jangan pernah berhenti berjuang untuk berdakwah, istiqamah dalam mengingatkan kebaikan dan kebenaran kepada orang lain.”

Lalu ia menambahkan, “Pesan beliau yang sangat ana pegang adalah, ‘Jangan berbicara dengan niat orang mau dan harus mendengarkan pembicaraan kita. Katakan, yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Jangan meminta sesuatu kepada orang. Jangan mengandalkan keindahan retorika atau ceramah yang bagus, yang hanya membuat orang senang tapi tidak menyentuh hati orang yang didakwahi, apalagi menimbulkan akhlaq yang tidak bagus. Yang terpenting adalah menjaga akhlaq’.”

Begitupun dengan sang ayah. Ada pesan dari ayahnya yang hingga hari ini terus dijaga. “Saya ingat, waktu itu saya sedang membenahi pakaian ke dalam koper saya saat detik-detik keberangkatan dari rumah menuju bandar udara, untuk berangkat belajar ke Tarim. Abah sambil memandangi saya berkata, ‘Ya Muhammad Al-Bagir, nanti sepulang belajar dari Tarim jangan bawa pulang apa pun. Satu saja yang dibawa pulang: akhlaq! Abah cuma berharap satu hal itu. Kitab-kitab boleh dibawa pulang. Pakaian tinggalkan saja, kasih buat orang-orang di sana.’ Pesan itulah yang terus saya pegang hingga kini,” demikian Habib Bagir mengenang.

Ya, baginya, akhlaqlah yang pokok, tonggak amal dan mu’amalah kepada siapa pun. Tidak memandang status seseorang, apalagi ukuran-ukuran duniawi. Bahkan seorang yang dikatakan alim pun dapat tergelincir dalam hal ini.

Ia menuturkan, “Seorang jama’ah ana punya kakak cacat seumur hidup. Sering kali ia menanyakan diri ana kepada adiknya yang ikut majelis ana. Pengin ketemu, katanya. Walhasil, ana yang pengin datang ketemu kakaknya. Subhanallah, ia nggak menyangka malah ana yang datang, dan ia terharu.

Ana memang selalu berupaya agar ana bergaul dengan akhlaq yang mulia, seperti yang dipesankan Abah dan guru-guru ana.”

Meneladani Akhlaq Rasulullah
Ketika alKisah menanyakan ihwal cita-cita, Habib Muhammad Al-Bagir mengatakan, cita-citanya bukan seperti cita-cita kebanyakan orang, yang pada umumnya untuk urusan pribadi. Ia bercita-cita ingin jama’ahnya dan umat ini punya akhlaq seperti akhlaq Rasulullah SAW dan berjalan pada jalan yang diridhai Allah Ta’ala.

Cita-cita lainnya, ia berharap, lewat Majelis Warotsatul Musthofa, kelak ia bisa membangun pesantren, lembaga-lembaga sosial, sehingga ada wadah buat orang-orang susah yang belum berkesempatan menimba ilmu. Sesuai namanya, Warotsatul Musthofa, yang berarti “warisan Baginda Nabi Muhammad SAW”, tidak mewariskan dinar ataupun dirham, melainkan mewariskan ilmu. Dan warisan itu bukan hanya hak dzurriyyahnya, tapi juga seluruh umatnya. “Mudah-mudahan ada jalan untuk niatan baik ini lewat orang-orang yang baik, amin...,” katanya penuh harap.

Habib Bagir juga ada niat untuk menulis, di antara kesibukan mengajar dan berdakwah. Sebahagian dari fawaid (catatan atas syarah ilmu yang disampaikan guru-guru secara lisan) dan apa yang terbetik di hati, sejauh ini sudah banyak dirangkumnya. Namun langkah konkret yang kini tengah difokuskannya adalah mengumpulkan dan menginventarisir karya-karya kakeknya, Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya, yang termasyhur sebagai mufti Betawi dan penulis kitab yang sangat produktif.

Ada kurang lebih 160 buah karya Habib Utsman yang ada di berbagai negeri dan daerah. Di Hadhramaut sendiri, Habib Bagir mendapatinya di perpustakaan Habib Abdullah bin Husein Bin Thahir, seorang ulama penulis kenamaan. Begitu pun dari beberapa ulama atau kiai Betawi di Jakarta, ada beberapa karya Habib Utsman yang dikoleksi para kiai ini dalam bentuk cetakan lama. Sedangkan yang di Belanda, ada di perpustakaan Universitas Leiden.

Habib Bagir ingin agar jama’ah dan umat bisa menggali karya-karya Habib Utsman ini dan memahaminya kembali. Dengan cara, ia mempermudah bahasanya dari bahasa Melayu lama, atau menerjemahkan yang berbahasa Arab.

Untuk saat ini, ia mengajarkan kitab Sifat Dua Puluh dalam majelis-majelis yang diadakan Warotsatul Musthofa. Ternyata, sambutannya luar biasa. Dari para kiai dan habaib, Habib Bagir terus mendapat dorongan untuk mensyiarkan kembali turats (karya) Habib Utsman.

“Habib Ali Bin Sahil, orangtua dan juga guru ana, berkata kepada ana, ‘Kitab enjid (yakni Habib Utsman) mesti kita hidupkan lagi, ya Muhammad Al-Bagir...’. Begitu pun saat di Hadhramaut, ada seorang kakek ana yang juga ulama di sana, cicit langsung Habib Utsman, Habib Ali bin Muhammad Alaydrus, yang ana mengaji kepadanya setiap Kamis, berpesan, ‘Kalau bukan kita yang membaca karangan-karangan Habib Utsman, siapa lagi?’ Inilah kewajiban yang harus kita tunaikan dari para orangtua kita,” katanya penuh semangat.

Alhamdulillah, para keturunan Habib Utsman yang lainnya bahu-membahu untuk menghidupkan atsar (peninggalan) dan turats (karya)-nya. Ada Habib Ahyad Banahsan di Ma’had Al-‘Abidin Jakarta Timur dan cucu langsung Habib Utsman, yakni Habib Abdullah bin Yahya bin Utsman Bin Yahya, di Sudimara, Jombang, yang menghidupkan pembacaan kitab-kitab Habib Utsman di majelisnya, serta masih banyak lagi para keturunannya. Bahkan banyak juga majelis-majelis yang diasuh kalangan kiai dan asatidz Betawi yang dalam majelisnya menggunakan kitab-kitab karya Habib Utsman. Inilah mudah-mudahan bentuk penghargaan atas keilmuan Habib Utsman dan buah amalnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahun Baru Hijriyyah
Menutup wawancara dengan habib muda yang murah senyum ini, ia menyampaikan pesan tentang Tahun Baru Hijriyyah yang akan kita lalui sesaat lagi. Hendaknya kita mengenang hijrahnya Nabi SAW dan para sahabat dan mengambil ibrahnya. Mari berhijrah dari keadaan yang tidak diridhai Allah menuju keridhaan-Nya. Menjadikan hari-hari kita ke depan kepada hal yang lebih baik lagi, sebagaimana Baginda Nabi SAW menjadikan hari-hari dalam kehidupannya dalam keadaan yang suci dan baik.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Al-yawm ‘id, bukrah ‘id, ams ‘id, kullu yawmin la na’shi wa la dzanba fihi fahuwa ‘id.” Yang artinya, hari ini adalah hari raya, besok hari raya, bahkan kemarin juga hari raya. Setiap hari yang tidak kita isi dengan kemaksiatan dan dosa, itu adalah hari raya. Maka dari itu, mudah-mudahan, membuka lembaran baru di Tahun Baru Hijriyyah ini, kita semua selalu memperbaharui hidup dalam keadaan yang diridhai Allah SWT. Amin.

Ringkasan Biografi As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki

Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki

As-Sayyid Muhammad Al-Hasani bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz Almaliki
As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki adalah salah seorang ulama Islam yang utama pada dasawarsa ini tanpa diragukan lagi, ulama yang paling dihormati dan dicintai di kota suci Makkah.
Beliau merupakan keturunan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, penghulu Ahlil Bait, Imam Hadis di zaman kita, pemimpin keempat-empat mazhab, ketua rohani yang paling berkaliber, pendakwah ke jalan Allah, seorang yang tidak goyah dengan pegangannya di dunia ilmiah Islam turath.
Menzirahi beliau merupakan suatu keharusan kepada para ulama yang menziarahi Makkah.
Keluarga Keturunan Sayyid merupakan keturunan mulia yang bersambung secara langsung dengan Junjungan kita Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri. Beliau merupakan waris keluarga Al-Maliki Al-Hasani di Makkah yang masyhur yang merupakan keturunan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wasallam, melalui cucu Baginda, Imam Al-Hasan bin Ali, Radhiyallahu ‘Anhum.
Keluarga Maliki merupakan salah satu keluarga yang paling dihormati di Makkah dan telah melahirkan alim ulama besar di Makkah, yang telah mengajar di Makkah sejak lama.
Lima orang dari keturunan Sayyid Muhammad, telah menjadi Imam Mazhab Maliki di Haram Makkah. Datuk beliau, Al-Sayyid Abbas Al-Maliki, merupakan Mufti dan Qadhi Makkah dan khatib di Masjidil Haram. Beliau memegang jawatan ini ketika pemerintahan Uthmaniah serta Hashimiah, dan seterusnya terus memegang jawatan tersebut setelah Kerajaan Saudi diasaskan. Raja Abdul Aziz bin Sa’ud sangat menghormati beliau. Riwayat Hidup beliau boleh dirujuk pada kitab Nur An-Nibras fi Asanid Al-Jadd As-Sayyid Abbas oleh cucunya As-Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Bapak beliau pula, As-Sayyid Alawi Al-Maliki merupakan salah seorang ulama Makkah Termasyhur di abad yang lalu. Beliau telah mengajar perbagai ilmu Islam turath di Masjidil Haram selama hampir 40 tahun. Ratusan murid dari seluruh pelusok dunia telah mengambil faedah daripada beliau dari kuliah beliau di Masjidil Haram, dan banyak di kalangan mereka telah memegang jawatan penting agama di negara masing-masing.
Malah, Raja Faisal tidak akan membuat apa-apa keputusan berkaitan Makkah melainkan setelah meminta nasihat daripada As-Sayyid Alawi. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 1971 dan upacara pengebumiannya merupakan yang terbesar di Makkah sejak seratus tahun. Dalam tempoh 3 hari dari kematian beliau, Stesyen Radio Saudi tempatan hanya menyiarkan bacaan Al-Quran, sesuatu yang tidak pernah dilakukan kecuali hanya untuk beliau.
Maklumat lanjut tentang As-Sayyid Alawi boleh dirujuk kepada biografinya berjudul Safahat Musyriqah min Hayat Al-Imam As-Sayyid As-Syarif Alawi bin Abbas Al-Maliki oleh anaknya, yang juga merupakan adik kepada As-Sayyid Muhammad, As-Sayyid Abbas Al-Maliki, juga seorang ulama, tetapi lebih dikenali dengan suara merdunya dan pembaca Qasidah yang paling utama di Arab Saudi. Biografi ini mengandungi tulisan berkenaan As-Sayyid Alawi dari ulama dari seluruh dunia Islam.
Keluarga Maliki juga telah melahirkan banyak lagi ulama lain, tetapi penulis hanya menyebut bapa dan datuk kepada As-Sayyid Muhammad. Untuk maklumat lanjut, rujuk tulisan-tulisan berkaitan sejarah Makkah dan ulamanya di abad-abad mutakhir.
Kelahiran dan Pendidikan Awal
As-Sayyid Muhammad Al-Hasani bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz, dilahirkan pada tahun 1946, di kota suci Makkah, dalam keluarga Al-Maliki Al-Hasani yang terkenal, keluarga Sayyid yang melahirkan ulama tradisi. Beliau amat beruntung kerana memiliki bapa seperti As-Sayyid Alawi, seorang ulama paling berilmu di Makkah. Bapa beliau merupakan guru pertama dan utama beliau, mengajar beliau secara peribadi di rumah dan juga di Masjidil Haram, di mana beliau menghafal Al-Quran sejak kecil. Beliau belajar dengan bapa beliau dan diizinkan untuk mengajar setiap kitab yang diajarkan oleh bapa beliau kepada beliau.
Pendidikan Lanjut
Dengan arahan bapanya, beliau juga turut mempelajari dan mendalami pelbagai ilmu turath Islam: Aqidah, Tafsir, Hadith, Feqh, Usul, Mustalah, Nahw dan lain-lain, di tangan ulamak-ulamak besar lain di Makkah serta Madinah. Kesemua mereka telah memberikan ijazah penuh kepada beliau untuk mengajar ilmu-ilmu ini kepada orang lain.
Ketika berumur 15 tahun lagi, As-Sayyid Muhammad telah mengajar kitab-kitab Hadith dan Feqh di Masjidil Haram, kepada pelajar-pelajar lain, dengan arahan guru-gurunya. Setelah mempelajari ilmu turath di tanah kelahirannya Makkah, beliau dihantar oleh bapanya untuk menuntut di Universiti Al-Azhar As-Syarif. Beliau menerima ijazah PhD daripada Al-Azhar ketika berusia 25 tahun, menjadikan beliau warga Arab Saudi yang pertama dan termuda menerima ijazah PhD dari Al-Azhar. Tesis beliau berkenaan Hadith telah dianggap cemerlang dan menerima pujian yang tinggi dari alim ulamak unggul di Al-Azhar ketika itu, seperti Imam Abu Zahrah.
Perjalanan Mencari Ilmu
Perjalanan menuntut ilmu merupakan jalan kebanyakan ulamak. As-Sayid Muhammad turut tidak ketinggalan. Beliau bermusafir sejak usia muda untuk menuntut ilmu dari mereka yang memiliki ilmu. Beliau telah bermusafir dengan banyak ke Afrika Utara, Mesir, Syria, Turki, dan rantau Indo-Pak untuk belajar dari alim-ulama yang hebat, bertemu para Wali Allah, menziarahi masjid-masjid dan maqam-maqam, serta mengumpul manuskrip-manuskrip dan kitab.
Di setiap tempat ini, beliau menemui para ulamak dan auliyak yang agung, dan mengambil faedah daripada mereka. Mereka juga turut tertarik dengan pelajar muda dari Makkah ini dan memberi perhatian istimewa untuk beliau. Kebanyakan mereka telah pun sangat menghormati bapa beliau yang alim, dan merupakan satu kebanggaan memiliki anak beliau sebagai murid.
Ijazah-ijazah
Sistem pengajian tradisi atau turath berasaskan kepada ijazah atau ‘keizinan untuk menyampaikan ilmu’. Bukan semua orang boleh mengajar. Hanya mereka yang memiliki ijazah yang diktiraf dari alim-ulamak yang terkenal sahaja yang boleh mengajar. Setiap cabang pengetahuan dan setiap kitab Hadith, Feqh, Tafsir dan lain-lain, mempunyai Sanad-sanad, atau rantaian riwayat yang bersambung sehingga kepada penyusun kitab tersebut sendiri melalui anak-anak muridnya dan seterusnya anak-anak murid mereka. Banyak sanad-sanad yang penting, seperti sanad Al-Qur’an, Hadith dan Tasawwuf, bersambung sehingga kepada Rasulullah Sallahu Alaihi Wasallam.
Sayyid Muhammad mendapat penghormatan dengan menjadi Shaykh dengan bilangan ijazah terbanyak dalam waktunya. Beliau juga memiliki rantaian sanad terpendek atau terdekat dengan datuknya, Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam.
Di Tanah Arab, tanah kelahirannya, dan dalam permusafiran ilmunya, As-Sayyid Muhammad mendapat lebih dari 200 ijazah dari alim-ulamak teragung di zamannya, di setiap cabang ilmu Islam. Ijazah beliau sendiri, yang beliau berikan kepada murid-muridnya adalah antara yang paling berharga dan jarang di dunia, menghubungkan anak-anak muridnya dengan sejumlah besar para ulamak agung.
Para Masyaikh yang memberikan As-Sayyid Muhammad ijazah-ijazah mereka merupakan ulamak besar dari seluruh dunia Islam. Kita menyebutkan sebahagian mereka:
Dari Makkah:
1) Bapa beliau yang alim dan guru beliau yang pertama, As-Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki
2) Shaykh Muhammad Yahya Aman al-Makki
3) Shaykh al-Sayyid Muhammad al-Arabi al-Tabbani
4) Shaykh Hasan Sa‘id al-Yamani
5) Shaykh Hasan bin Muhammad al-Mashshat
6) Shaykh Muhammad Nur Sayf
7) Shaykh Muhammad Yasin al-Fadani
8) Al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi
9) Al-Sayyid Ishaq bin Hashim ‘Azuz
10) Habib Hasan bin Muhammad Fad‘aq
11) Habib Abd-al-Qadir bin ‘Aydarus al-Bar
12) Shaykh Khalil Abd-al-Qadir Taybah
13) Shaykh Abd-Allah al-Lahji
Dari Madinah:
1) Shaykh Hasan al-Sha‘ir, Shaykh al-Qurra of Madinah
2) Shaykh Diya-al-Din Ahmad al-Qadiri
3) As-Sayyid Ahmad Yasin al-Khiyari
4) Shaykh Muhammad al-Mustafa al-Alawi al-Shinqiti
5) Shaykh Ibrahim al-Khatani al-Bukhari
6) Shaykh Abd-al-Ghafur al-Abbasi al-Naqshbandi
Dari Hadramawt dan Yaman:
1) Al-Habib Umar bin Ahmad bin Sumayt, Imam Besar Hadramawt
2) Shaykh As-Sayyid Muhammad Zabarah, Mufti Yaman
3) Shaykh As-Sayyid Ibrahim bin Aqeel al-Ba-Alawi, Mufti Ta‘iz
4) Al-Imam al-Sayyid Ali bin Abd-al-Rahman al-Habshi
5) Al-Habib Alawi ibn Abd-Allah bin Shihab
6) As-Sayyid Hasan bin Abd-al-Bari al-Ahdal
7) Shaykh Fadhl bin Muhammad Ba-Fadhal
8) Al-Habib Abd-Allah bin Alawi al-Attas
9) Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafeez
10) Al-Habib Ahmad Mashhur al-Haddad
11) Al-Habib Abd-al-Qadir al-Saqqaf
Dari Syria:
1) Shaykh Abu-al-Yasar ibn Abidin, Mufti Syria
2) Shaykh As-Sayyid al-Sharif Muhammad al-Makki al-Kattani, Mufti Maliki
3) Shaykh Muhammad As‘ad al-Abaji, Mufti Shafi‘i
4) Shaykh As-Sayyid Muhammad Salih al-Farfur
5) Shaykh Hasan Habannakah al-Maydani
6) Shaykh Abd-al-Aziz ‘Uyun al-Sud al-Himsi
7) Shaykh Muhammad Sa‘id al-Idlabi al-Rifa‘i
Dari Mesir:
1) Shaykh As-Sayyid Muhammad al-Hafiz al-Tijani, Imam Hadith di Mesir
2) Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, Mufti Mesir
3) Shaykh Salih al-Ja‘fari, Imam Masjid Al-Azhar
4) Shaykh Amin Mahmud Khattab al-Subki
5) Shaykh Muhammad al-‘Aquri
6) Shaykh Hasan al-‘Adawi
7) Shaykh As-Sayyid Muhammad Abu-al-‘Uyun al-Khalwati
8) Shaykh Dr. Abd-al-Halim Mahmud, Syeihkul Azhar
Dari Afrika Utara (Maghribi, Algeria, Libya dan
Tunisia):
1) Shaykh As-Sayyid As-Sharif Abd-al-Kabir al-Saqali al-Mahi
2) Shaykh As-Sayyid Abd-Allah bin Al-Siddiq Al-Ghimari, Imam Hadith
3) Shaykh As-Sayyid Abd-al-Aziz bin Al-Siddiq al-Ghimari
4) As-Sharif Idris al-Sanusi, Raja Libya
5) Shaykh Muhammad At-Tahir ibn ‘Ashur, Imam Zaytunah, Tunis
6) Shaykh al-Tayyib Al-Muhaji al-Jaza’iri
7) Shaykh Al-Faruqi Al-Rahhali Al-Marrakashi
8) Shaykh As-Sayyid As-Sharif Muhammad al-Muntasir al-Kattani
Dari Sudan:
1) Shaykh Yusuf Hamad An-Nil
2) Shaykh Muddassir Ibrahim
3) Shaykh Ibrahim Abu-an-Nur
4) Shaykh At-Tayyib Abu-Qinayah
Dari Rantau Indo-Pak:
1) Shaykh Abu-al-Wafa al-Afghani Al-Hanafi
2) Shaykh Abd-al-Mu‘id Khan Hyderabadi
3) Al-Imam Al’Arif Billah Mustafa Rida Khan al-Barelawi, Mufti India
4) Mufti Muhammad Shafi’ Al-Deobandi, Mufti Pakistan
5) Mawlana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Imam Hadith
6) Mawlana Zafar Ahmad Thanawi
7) Shaykh Al-Muhaddith Habib-al-Rahman Al-‘Azami
8) Sayyid Abu-al-Hasan Ali An-Nadawi
Silsilah ini hanya merupakan ulama masyhur yang Syaikh kita telah mendapat ijazah darinya, dan di sana terdapat ramai lagi yang tidak disebutkan. Pada As-sayyid Muhammad Alawi, seseorang akan mendapati nilai terbaik dari para Masyaikh ini dalam pelabagai latarbelakang dan pengkhususan.
Karier Mengajar
Kalimah karier sebenarnya mungkin tidak sesuai untuk digunakan untuk menggambarkan aktiviti mengajar As-Sayyid Muhammad, kerana kalimah ini amat hampir kaitannya dengan keuntungan material. Sementara beliau, seperti mana Masyaikh tradisi yang lain, juga seperti keturunannya sebelum beliau, mengajar hanya kerana Allah dan tidak mengharapkan keuntungan material langsung.
Malahan, beliau menempatkan sejumlah besar pelajar di rumahnya sendiri, menyediakan untuk mereka makan minum, penginapan, pakaian, kitab-kitab serta segala keperluan mereka. Sebagai balasan, mereka hanya diminta mengikuti peraturan dan etika penuntut ilmu agama yang suci. Pelajar-pelajar ini biasanya menetap bersama beliau bertahun-tahun lamanya, mempelajari pelbagai cabang ilmu Islam, dan seterusnya kembali ke negeri masing-masing. Ratusan dari para pelajar telah menuntut di kaki beliau dan telah menjadi pelopor pengetahuan Islam dan kerohanian di negara mereka, terutamanya di Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman dan Dubai.
Bagaimanapun apabila pulang dari Al-Azhar, beliau dilantik sebagai Profesor Pengajian Islam di Universiti Ummul Qura di Makkah, yang mana beliau telah mengajar sejak tahun 1970.
Pada tahun 1971, sebaik bapanya meninggal dunia, para ulamak Makkah meminta beliau untuk menggantikan tempat
bapanya sebagai guru di Masjidil Haram. Beliau menerimanya, lantas menduduki kedudukan yang telah diduduki oleh keluarganya lebih dari seabad. Beliau juga kadang kala mengajar di Masjid Nabi di Madinah. Kuliah pengajian beliau merupakan kuliah yang paling ramai dihadiri di kedua-dua Tanah Haram.
Bagaimanapun pada awal tahun 80-an, beliau telah mengosongkan kedudukan mengajarnya di Universiti Ummul Qura juga kerusi warisannya di Masjidil Haram, memandangkan fatwa dari sebahgian ulamak fanatik fahaman Wahhabi, yang menganggap kewujudannya sebagai ancaman kepada ideologi dan kekuasaan mereka.
Sejak itu, beliau mengajar kitab-kitab agung Hadith, Fiqh, Tafsir dan tasawwuf di rumah dan masjidnya di Jalan Al-Maliki di Daerah Rusayfah, Makkah. Kuliah-kuliah umumnya antara waktu Maghrib dan Isyak dihadiri tidak kurang daripada 500 orang setiap hari. Ramai pelajarnya daripada Universiti menghadiri pengajiannya di waktu malam. Sehingga malam sebelum beliau meninggal dunia, majlisnya dipenuhi penuntut.
Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki amat dihormati oleh Kerajaan Arab Saudi dan selalu diminta nasihat dari Raja sendiri dalam urusan-urusan yang penting. Beliau juga dilantik sebagai ketua juri dalam Musabaqah Qur’an antarabangsa di Makkah selama tiga tahun berturut-turut.
Tulisan Beliau
Sayyid Muhammad merupakan seorang penulis prolifik dan telah menghasilkan hampir seratus buah kitab. Beliau
telah menulis dalam pelbagai topik agama, undang-undang, social serta sejarah, dan kebanyakan bukunya dianggap sebagai rujukan utama dan perintis kepada topik yang dibicarakan dan dicadangkan sebagai buku teks di Institusi-institusi Islam di seluruh dunia.
Kita sebutkan sebahagian hasilnya dalam pelbagai bidang:
Aqidah:
1) Mafahim Yajib an Tusahhah
2) Manhaj As-salaf fi Fahm An-Nusus
3) At-Tahzir min at-Takfir
4) Huwa Allah
5) Qul Hazihi Sabeeli
6) Sharh ‘Aqidat al-‘Awam
Tafsir:
1) Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
2) Wa Huwa bi al-Ufuq al-‘A’la
3) Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ulum al-Quran
4) Hawl Khasa’is al-Quran
Hadith:
1) Al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
2) Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith
3) Fadl al-Muwatta wa Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bihi
4) Anwar al-Masalik fi al-Muqaranah bayn Riwayat al-Muwatta lil-Imam Malik
Sirah:
1) Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam) al-Insan al-Kamil
2) Tarikh al-Hawadith wa al-Ahwal al-Nabawiyyah
3) ‘Urf al-Ta’rif bi al-Mawlid al-Sharif
4) Al-Anwar al-Bahiyyah fi Isra wa M’iraj Khayr al-Bariyyah
5) Al-Zakha’ir al-Muhammadiyyah
6) Zikriyat wa Munasabat
7) Al-Bushra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra
Usul:
1) Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh
2) Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh
3) Mafhum al-Tatawwur wa al-Tajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah
Fiqh:
1) Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha
2) Labbayk Allahumma Labbayk
3) Al-Ziyarah al-Nabawiyyah bayn al-Shar‘iyyah wa al-Bid‘iyyah
4) Shifa’ al-Fu’ad bi Ziyarat Khayr al-‘Ibad
5) Hawl al-Ihtifal bi Zikra al-Mawlid al-Nabawi al-Sharif
6) Al-Madh al-Nabawi bayn al-Ghuluww wa al-Ijhaf
Tasawwuf:
1) Shawariq al-Anwar min Ad‘iyat al-Sadah al-Akhyar
2) Abwab al-Faraj
3) Al-Mukhtar min Kalam al-Akhyar
4) Al-Husun al-Mani‘ah
5) Mukhtasar Shawariq al-Anwar
Lain-lain:
1) Fi Rihab al-Bayt al-Haram (Sejarah Makkah)
2) Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-‘Asabiyyah (Kajian Berkaitan Orientalis)
3) Nazrat al-Islam ila al-Riyadah (Sukan dalam Islam)
4) Al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj al-Da‘wah ila Allah (Teknik Dawah)
5) Ma La ‘Aynun Ra’at (Butiran Syurga)
6) Nizam al-Usrah fi al-Islam (Peraturan Keluarga Islam)
7) Al-Muslimun Bayn al-Waqi‘ wa al-Tajribah (Muslimun, Antara Realiti dan Pengalaman)
8) Kashf al-Ghumma (Ganjaran Membantu Muslimin)
9) Al-Dawah al-Islahiyyah (Dakwah Pembaharuan)
10) Fi Sabil al-Huda wa al-Rashad (Koleksi Ucapan)
11) Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah (Kemulian Ummah Islamiyyah)
12) Usul al-Tarbiyah al-Nabawiyyah (Metodologi Pendidikan Nabawi)
13) Nur al-Nibras fi Asanid al-Jadd al-Sayyid Abbas (Kumpulan Ijazah Datuk beliau, As-Sayyid Abbas)
14) Al-‘Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Asanid al-Alawiyyah (Kumpulan Ijazah Bapa beliau, As-Sayyid Alawi)
15) Al-Tali‘ al-Sa‘id al-Muntakhab min al-Musalsalat wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
16) Al-‘Iqd al-Farid al-Mukhtasar min al-Athbah wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
Senarai di atas merupakan antara kitab As-Sayyid Muhammad yang telah dihasilkan dan diterbitkan. Terdapat banyak lagi kitab yang tidak disebutkan dan juga yang belum dicetak.
Kita juga tidak menyebutkan banyak penghasilan turath yang telah dikaji, dan diterbitkan buat pertama kali, dengan nota kaki dan komentar dari As-Sayyid Muhammad. Secara keseluruhannya, sumbangan As-Sayyid Muhammad amat agung.
Banyak hasil kerja As-Sayyid Muhammad telah diterjemahkan ke perbagai bahasa.
Kegiatan lain
As-Sayyid Muhammad merupakan seorang pembimbing kepada ajaran dan kerohanian Islam yang sebenar dan telah bermusafir ke serata Asia, Afrika, Eropah dan Amerika, menyeru manusia ke arah kalimah Allah dan Rasul terakhir-Nya Muhammad Sallahu Alaihi Wassalam.
Di Asia Tenggara Khususnya, As-Sayyid Muhammad secara peribadi telah mengasaskan dan membiayai lebih 70 buah Sekolah Islam untuk melawan aktiviti dakyah Kristian. Sejumlah besar penganut Kristian dan Budha telah memeluk Islam di tangannya hanya setelah melihat Nur Muhammad yang bersinar di wajahnya.
Ke mana sahaja beliau pergi, para pemimpin, ulamak dan masyarakat di tempat tersebut akan menyambutnya dengan penuh meriah. Beliau seringkali memberi ceramah kepada ratusan ribu manusia.
Beliau amat disayangi dan dicintai oleh Muslimin di seluruh dunia, bukan sahaja kerana beliau keturunan Rasulullah, tetapi juga kerana ilmunya yang luas, hikmahnya, akhlak serta watak rohaninya. Beliau juga amat terkenal amat pemurah dengan ilmu, kekayaan dan masanya.
Pendekatan
As-Sayyid Muhammad mengikuti dan menyelusuri tradisi arus utama dan majoriti Islam, jalan Ahlu Sunnah Waljamaah, jalan toleransi dan sederhana, pengetahuan dan kerohanian, serta kesatuan dalam kepelbagaian.
Beliau percaya kepada prinsip berpegang dengan empat mazhab yang masyhur, tetapi tanpa fanatik. Beliau mengajar rasa hormat kepada ulamak dan Awliyak agung yang lepas.
Beliau menentang sikap sewenang-wenangnya mengatakan Muslim lain sebagai Kafir dan Musyrik, yang telah menjadi tanda dan sifat utama sebahagian fahaman hari ini.
Beliau amat menentang dan kritis terhadap mereka yang digelar reformis (Islah) abad ke-20 yang dengan mudah ingin menghapuskan Islam generasi terdahulu menggunakan nama Islam yang suci.
Beliau juga memahami bahawa mencela kesemua Ash’ari, atau kesemua Hanafi, Syafi’e dan Maliki, kesemua sufi, seperti mana yang dilakukan oleh sebahagian fahaman hari ini adalah sama dengan mencela keseluruhan Ummah Islam ribuan tahun yang lampau. Ia hanya merupakan sifat dan pendekatan musuh Islam, dan bukannya rakan.
Sayyid Muhammad juga amat mempercayai bahawa ulamak –ulamak Mazhab yang agung – mengikuti Sunni-Sufi – sejak beratus tahun yang lalu, adalah penghubung kita kepada Al-Quran dan Assunnah, dan bukanlah penghalang antara keduanya dengan kita, seperti yang dipercayai sesetengah pihak.
Kefahaman yang benar berkenaan Al-Quran dan Sunnah ialah kefahaman yang berasaskan tafsiran para ulamak agung Islam, dan bukan dengan sangkaan para ekstrimis zaman moden ini yang tidak berfikir dua kali sebelum mencela majoriti Muslim di seluruh dunia. Sayyid Muhammad juga berpendapat majoriti ummah ini adalah baik. Kumpulan-kumpulan minoriti yang fanatiklah yang perlu mengkaji semula fahaman ekstrim mereka.
Sayyid Muhammad merupakan pendukung sebenar Sufi yang berasaskan Syariah, Sufi para Awliya’ agung dan solehin ummah ini. Beliau sendiri merupakan mahaguru kerohanian di tingkat yang tertinggi, berhubungan dengan kebanyakan peraturan kerohanian Islam, melalui para Masyaikh Tariqah yang agung.
Beliau turut mempercayai bahawa membaca Zikir, samaada secara bersendirian atau berkumpulan, adalah bahagian penting dalam kerohanian seseorang. Semua pelajarnya dimestikan bertahajjud dan membaca wirid pagi dan petang.
Sayyid Muhammad juga beranggapan, ummat Islam perlu menggunakan segala hasil yang ada untuk meningkatkan taraf ummah mereka dari sudut kerohanian, masyarakat dan juga material, dan tidak membuang masa yang berharga dengan berbalah pada perkara-perkara kecil. Beliau percaya Muslim tidak seharusnya mencela satu sama lain dalam perkara yang telah diselisihkan oleh para ulamak. Mereka sebaliknya perlu berganding bahu bersama untuk memerangi apa yang telah disepekati sebagai kejahatan dan dosa.
Pandangan dan pendirian Sayyid Muhammad ini digambarkan dalam tulisannya yang terkenal, Mafahim Yajib An Tusahhah (Kefahaman Yang Perlu Diperbetulkan), sebuah buku yang mendapat penghargaan meluas di seluruh dunia Islam dan diiktiraf tinggi di lingkaran para ulamak.
Penutup
Tidak diragui lagi, kehadiran Sayyid Muhammad Alawi merupakan rahmat buat ummah ini. Beliau merupakan waris kepada kekasih kita Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam dari sudut darah daging serta kerohanian. Masyarakat Makkah dan Madinah teramat mencintai beliau seperti mana dilihat pada solat jenazah beliau.
Siapa sahaja yang pernah menemui beliau jatuh cinta dengan beliau. Rumahnya di kota suci Makkah sentiasa terbuka sepanjang tahun untuk ulamak dan para penuntut yang menziarahi, ribuan orang yang menuju kepadanya. Beliau juga tidak kenal erti takut dalam berkata yang benar dan telah mengalami detik-detik kepayahan kerana kebenaran. Walaubagaimanapun pertolongan Allah kelihatan sentiasa bersama dengannya. RadhiyAllahu Anhu WaArdhaah. Ameen.
Maklumat lanjut kehidupan dan pencapaiannya boleh dirujuk biografinya yang hebat bertajuk, Al-Maliki ‘Alim Hijjaz, karangan penulis dan sejarahwan terkenal Makkah, Dr Zuhayr Kutbi.
Pemergiannya
Beliau telah meninggalkan kita pada hari Jumaat, 15 Ramadhan (bersesuaian dengan doanya untuk meninggal dunia pada bulan Ramadhan), dalam keadaan berpuasa di rumahnya di Makkah. Kematiannya amat mengejutkan.
Benar.. Ia adalah satu kehilangan yang besar.. Ucapan takziah diucapkan dari seluruh dunia Islam. Solat janazah beliau dilakukan di seluruh pelusuk dunia.
Beliau telah pergi pada bulan Ramadhan dan pada hari Jumaat.
Saya adalah antara yang menunaikan solat jenazah (pertama di rumah beliau diimamkan oleh adiknya As-Sayyid Abbas, dan seterusnya di Masjidil Haram dengan Imam Subayl)… Ratusan ribu manusia membanjiri upacara pengebumiannya. Semua orang menangis dan sangat bersedih… Ia merupakan satu situasi yang tidak dapat dilupakan… Allahu Akbar…
Betapa hebatnya beliau… betapa besarnya kehilangan ini… Betapa ramainya yang menyembahyangkannya… Saya tahu mata saya tidak pernah menyaksikan seorang spertinya… Seorang yang amat dicintai oleh masyarakat seperti beliau… seorang ulamak yang berkaliber dan berpengetahuan serta berhikmah…
Terdapat sekurang-kurangnya 500 orang tentera diperintah oleh kerajaan Arab Saudi di perkuburan Ma’ala untuk mengawal ribuan orang yang menangisinya. Kerabat diraja juga turut hadir. Para manusia menempikkan Kalimah dengan kuat sepanjang upacara pengebumian beliau, memenuhi Makkah dari Masjidil Haram sehingga ke tanah perkuburan.
Beliau disemadikan di sebelah bapanya, berhampiran maqam nendanya Sayyidah Khadijah. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau ada menghubungi seorang pelajar lamanya di Indonesia melalui telefon dan bertanyanya adakah dia akan datang ke Makkah pada bulan Ramadhan. Apabila dia menjawab tidak, Sayyid Muhammad bertanya pula, “tidakkah engkau mahu menghadiri penegebumianku?”
Tepat sekali, beliau pergi pada bulan Ramadhan di pagi Jumaat… apakah lagi bukti yang diperlukan menunjukkan penerimaan Allah?! Makkah menangisi pemergiannya… Seluruh dunia Islam menangisi kehilangannya. Moga Allah menganugerahkan beliau tempat yang tertinggi di Jannah, bersama-sama kekasihnya dan datuknya Rasulullah Sallahu Alaihi Wasallam. Ameen.
Wallahu A’lam. Wassollahu Ala Saiyidina Rasulillah WaAla Alihi Wasohbihi Waman Walah, Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin

Ringkasan Biografi Al-Habib Umar Bin Hud Al-Attas

Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hud Al-Athos Habib Umar Bin Hud Al Athos adalah seorang ulama dan konon beliau juga seorang wali quthub usianya lebih dari 100 tahun dilahirkan di penghujung abad ke 19 di Hadramaut, Yaman Selatan. Sejak usia muda beliau telah datang ke Indonesia. Mula-mula tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat. Beliau berdakwah sambil berjualan kain di Pasar Tanah Abang. Kemudian membuka pengajian dan majelis maulid di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Sekitar tahun 1950-an, Beliau ke Mekkah dan bermukim selama beberapa tahun dan selama di mekkah beliu menggunakan kesempatan tersebut untuk belajar kepada ulama-ulama setempat. Tapi, sayangnya, saat hendak kembali ke Indonesia, ia tertahan di Singapura.
Pasalnya, pada awal 1960-an terjadi konfrontasi antara RI dan Malaysia, sementara Singapura masih merupakan bagian negara itu. Habib Umar baru kembali ke Tanah Air setelah usai konfrontasi, pada awal masa Orde Baru. Tapi, rupanya banyak hikmah yang diperoleh di balik kejadian tersebut. Karena, selama lebih dari lima tahun di Malaysia dan Singapura, ternyata beliau sangat dihormati oleh umat Islam setempat, termasuk Brunei Darussalam.
Karenanya tidak heran kalau orang menyebut Maulid Nabi yang diselenggarakan Habib Umar di Cipayung sebagai maulid internasional. Maulid ini dihadiri sekitar 100.000 jamaah, termasuk ratusan jamaah dari mancanegara. Untuk perjamuan makanan untuk para jamaah yang menghadiri maulid ini diperlukan ribuan ekor kambing dan berton-ton beras. Kalau ditanya orang dari mana dananya, maka Habib Umar selalu bilang dari Allah.
Sesuatu yang mungkin lain dibandingkan dengan acara-acara maulud di majelis lain adalah, tidak ada ceramah-ceramah setelah baca maulud. Acaranya langsung saja yakni baca maulud, zikir dan ditutup dengan do’a. Tidak adanya ceramah-ceramah yang sudah tradisi sejak lama itu, karena Habib Umar khawatir akan menimbulkan saling serang dan fitnah.
Kegiatan rutin Habib Umar yang lain yang memasyarakat adalah shalat subuh berjamaah di kediamannya di Condet. Setiap hari terdapat sekitar 300 jamaah subuh yang datang. Khusus pada hari Jumat, jamaahnya meningkat menjadi sekitar 1.000 orang. Setiap Sabtu mereka para jama’ah diberikan pelajaran Fiqih sedangkan di Cipayung bogor tiap kamis malam diadakan pembacaan maulid diba’ dan yang menarik adalah setelah diadakan kegiatan tersebut para jama’ah dijamu oleh Habib Umar Bin Hud seperti nasi uduk lengkap dengan lauk-pauknya. Habib Umar meninggal dunia pada bulan Agustus 1999 di rumahnya dan dimakamkan di Wakaf al-Hawi dekat dengan pusat perbelanjaan PGC cililtan sesuai dengan wasiat beliau.