Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin
 Umar bin Segaf bin Muhammad dan terus bersambung nasabnya hingga sampai
 kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Kelahiran beliau
Beliu 
dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331
 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak 
kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.
Kedua orangtua beliau
Ayah
 beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam 
yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan
 amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi pernah berkata 
bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof 
(Hadramaut).
Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti 
Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang 
sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung 
dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir 
atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, tetapi tidak lama 
kemudian bayi tersebut meniggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah 
melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga 
mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib Ali 
mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang 
mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang 
dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.
As-Syarifah Alawiyah 
meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari 
wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh Abubakar bin Salim (kakek 
dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari 
Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada sore hari, Sabtu, tanggal 4 
Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, 
sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru berusia 25 tahun.
Masa kecil beliau
Sejak
 kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, 
ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus dicontohkan 
oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf. 
Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di 
Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua 
untuk mencetak kader-kader ulama dan shulaha’ (orang-orang baik) karena 
anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan
 juga ikut membentuk mereka. Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi 
hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan 
budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani 
ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga 
asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.
Ketika usia 
Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat 
beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di 
luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. 
Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah 
pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya 
Al-Habib Thoha bin Umar Assagaf di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar
 beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. 
‘Ulmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan 
atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut 
telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman
 itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya 
tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga 
menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.
Setelah
 beberapa waktu kemudian beliau keluar dari ‘Ulmah Thoha dan mencurahkan
 waktunya untuk lebih banyak duduk dan menimbah ilmu dari ayahnya, 
sehingga tampak tanda-tanda kemuliaan pada diri beliau. Kemudian atas 
perintah ayahnya beliau melanjutkan pendidikannya di madrasah An-Nahdhoh
 Al-`ilmiyah di kota Sewun.
di madrasah An-Nahdhoh Al-’Ilmiyah ini, 
Al-Habib Abdul Qodir memperdalam berbagai macam ilmu, seperti ilmu 
Fiqih, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Sastra Arab, Tarikh dan Tahfid 
Al-Quran. Manhaj madrasah ini adalah at-tazkiah (pensucian), at-tarbiyah
 (pendidikan) dan at-tarqiyah (keluhuran budi pekerti). Mudir (Kepala 
Sekolah) An-Nahdhoh waktu itu adalah As-Syaikh Al-Adib Ali Ahmad 
Baktsir. As-Syaikh Ali selalu memperhatikan kemajuan murid-muridnya, 
sampai-sampai murid-murid yang memiliki kecerdasan dan keunggulan di 
madrasah, beliau berikan kepada mereka pelajaran tambahan (privat) di 
rumahnya. Al-Habib Abdul Qodir juga mempelajari ilmu Qiroatus Sab’ah 
dengan As-Syaikh Hasan Abdullah Baraja’ setelah As-Syaikh Hasan pulang 
dari Makkah untuk memperdalam ilmu Qiroatul Qur’an.
Selain 
mendapatkan pengajaran berbagai ilmu di madrasah tersebut, peran ayah 
beliau, Al-Habib Ahmad, dalam menggembleng beliau cukup besar. Bahkan 
yang didapatkan Al-Habib Abdul Qodir dari ayahnya lebih banyak daripada 
yang beliau dapatkan di madrasah. Hari-hari Al-Habib Abdul Qodir penuh 
dengan kegiatan belajar. Beliau pernah mengatakan bahwa sehari semalam, 
dalam satu atau dua jalsah dengan ayahnya, beliau bisa mengkhatamkan 
satu kitab. Dengan demikian waktu beliau menjadi berkah. Dalam waktu 
yang relatif singkat beliau telah menjadi seorang yang luas 
pengetahuannya dan luhur budi pekertinya.
Mengajar di Madrasah An-Nahdhoh
Di
 antara keistimewaan madrasah An-Nahdhoh ini adalah meluluskan lebih 
awal murid-muridnya yang unggul untuk diperbantukan mengajar di situ. Di
 antara sekian banyak siswanya, terpilihlah Al-Habib Abdul Qodir untuk 
diluluskan dan diizinkan mengajar. Tentunya pilihan ini jatuh kepada 
Al-Habib Abdul Qodir bukanlah sesuatu yang mudah, tapi setelah mengalami
 proses yang cukup ketat. Ini semua adalah berkat kesungguhan niat 
beliau dalam belajar dan kegigihan ayah beliau dalam mengembleng, 
sehingga Al-Habib Abdul Qodir unggul dalam banyak hal di antara teman 
sebayanya.
Pada suatu saat Al-Habib Abdul Qodir mulai 
diperintahkan oleh ayahnya untuk mengisi pengajian umum yang biasa 
diadakan di masjid Thoha bin Umar Ash-Shofi. Dalam penyampaiannya, 
Al-Habib Abdul Qodir banyak menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak 
banyak diketahui orang. Dari situlah orang-orang yang hadir tahu bahwa 
beliau adalah penerus ayahnya dan pewaris sirr para datuknya. Dengan 
mengajar dan mengisi pengajian itulah, Al-Habib Abdul Qodir telah 
mencetak santri-santri yang berkualitas yang banyak bersyukur dan 
menyaksikan keunggulan beliau.
Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad 
bin Abdurrahman, meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh 
dan tokoh Alawiyyin saat itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, 
karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi 
oleh Al-Habib Abdul Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. 
Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi 
kebiasaan ayahnya.
Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir 
mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala 
kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang 
ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan 
kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis 
Asy-Syafi, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak 
pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah 
satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu
 orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga 
hubungan silaturrahmi.
Karena ketinggian akhlak beliau itulah, 
menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga 
banyak orang ingin menimba ilmu darinya. Dimana saja beliau mengajar 
atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. 
Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para 
pendengarnya.
Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir
 menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, 
untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang 
lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.
Di 
rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab 
tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. 
Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat 
sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka 
Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca 
dan mencatatnya, dan kemudian disimpan di perpustakaannya itu. 
Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka 
membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai
 membuat syair.
Hijrahnya dari Hadramaut
Suatu saat 
terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka 
membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapus tradisi leluhur 
dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat 
diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi 
dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini 
mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul 
Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya 
leluhurnya, .
Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan 
pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada 
tahun 1393 H. Disana beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak
 kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah 
kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau
 berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah
 SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat 
menuju Singapura.
Di bandara Singapura, beliau disambut oleh 
banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah 
Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin 
Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk 
menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau 
tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah 
ilmu dari beliau.
Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir
 meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga 
mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta.
 Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain
 As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar 
Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh 
Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad 
Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Sa’id Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul
 Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi 
yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis 
lainnya di Jakarta.
Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 
1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau 
tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 
3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib 
Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir 
di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari 
berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan 
tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut 
mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.
Di setiap tempat yang
 dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh 
perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin. Setiap kota yang dimasuki, 
yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. 
Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. 
Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang
 hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.
Pada 
tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju 
Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh
 kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap 
tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib 
Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan 
datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan 
mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah.
Guru-guru beliau
Al-Habib
 Abdul Qodir menimbah ilmu dari banyak guru. Setiap berkunjung ke suatu 
tempat, beliau menyempatkan diri untuk menggali ilmu dari para ulama dan
 orang-orang sholeh di tempat tersebut. Di antara guru beliau adalah 
Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf (ayah beliau), Al-Habib Umar bin
 Hamid bin Umar Assaggaf, Al-Habib Umar bin Abdul Qodir bin Ahmad 
Assaggaf, Al-Habib Abdul Bari bin Syaikh Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad 
bin Hadi Assaggaf, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul), 
Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aidrus, dan lain-lain.
Murid-murid beliau
Di
 antara para murid beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Abdullah 
Alhaddar, Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Sumaith, Al-Habib Salim bin 
Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, Al-Habib Abubakar Al-’Adany bin Ali 
Al-Masyhur, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ِAl-Habib Abubakar bin
 Hasan Al-Atthas dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat 
kami sebutkan satu-persatu.
Demikianlah Al-Habib Abdul Qodir 
menghabiskan hari-harinya dengan belajar, mengajar dan membantu kaum 
yang lemah hingga ajal menjemputnya. Beliau wafat pada waktu Subuh, hari
 Minggu, tanggal 19 Rabiul Tsani 1431 (4 April 2010 M) pada usia 100 
tahun. Jenazah beliau disholatkan di Masjidil Haram dan disemayamkan di 
pekuburan Ma’la setelah sholat Magrib pada hari yang sama.
Selamat
 jalan wahai Habib Abdul Qodir. Semoga keselamatan, kesejahtraan, rahmat
 Allah dan ridhoNya selalu menyertaimu. Semoga Allah SWT membalas semua 
pengorbananmu untuk Alawiyyin dan kaum muslimin.

Ijin share admin
BalasHapus